Mayoritas suku yang ada di Indonesia memang sudah hidup modern di daerah perkotaan. Tapi tidak sedikit yang lebih memilih untuk tetap mempertahankan budaya nenek moyang dan hidup sederhana tanpa menyentuh kecanggihan teknologi.
Beberapa suku di Indonesia bahkan lebih memilih tinggal di hutan belantara atau tempat yang jauh dari hiruk pikuk kota, dan Baduy adalah salah satunya.
Kalau ngomongin Baduy, sering sekali saya mendengar kisah tentang pengalaman teman-teman yang pernah berkunjung kesana. Bagaimana mereka orang asing sangat diterima dan bisa melihat, merasakan sendiri bagaimana kehidupan suku Baduy. Jelas mendengar ceritanya saya pun jadi ingin merasakannya sendiri, salah satu wish list saya untuk bisa mengunjungi Suku Baduy.
Pasalnya tidak seperti kebanyakan suku lain yang menolak untuk keluar dari wilayah mereka tinggal dan menolak pendatang. Suku Baduy justru seringkali keluar dari wilayah tempat mereka tinggal dan berjalan di wilayah perkotaan. Saya sendiri juga beberapa kali sering melihat Suku Baduy berjalan di tengah kota Jakarta dengan pakaian hitam-hitam, berjalan tanpa alas kak, menenteng tas kain sederhana dan menjajakan madu atau untuk mengunjungi saudara mereka.
Tapi tidak semua warga Jabodetabek mengenal Suku Baduy, mereka mungkin masih asing dengan suku satu ini.
Terkadang jika melihat mereka sedang berjalan di tengah kota, rasanya ingin sekali menyapa dan bisa berbicara langsung dan mendengar langsung tentang suku mereka. Tapi keinginan tersebut saya urungkan.
Sebenarnya sama seperti kebanyakan suku lainnya yang ada di Indonesia, Suku Baduy hidup berdampingan dengan alam sekitarnya. Meski tidak hidup di hutan tapi mereka sangat menghargai karena hutan yang telah memberikan kehidupan bagi mereka. Kalian tau nggak, kalau asal usul nama “Baduy” sendiri sampai saat ini masih simpang siur, lho qo bisa?
Mengingat ada begitu banyak versi yang beredar seputar penamaan Suku Baduy. Konon nama “Baduy” diberikan oleh orang Belanda yang pernah menjajah Indonesia. Kisah ini bermula ketika orang Belanda bertemu dengan orang-orang Baduy di Tanah Sunda. Karena orang Baduy hidup berpindah-pindah, sehingga orang Belanda menyamai mereka dengan suku Bedouin di Jazirah Arab, dimana suku mereka juga suka hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lainnya.
Cerita lain mengatakan, nama Suku Baduy berasal dari nama sebuah sungai di utara Desa Kanekes. Sungai ini bernama Sungai Cibaduy, dan karena orang-orang ini tinggal disekitar sungai, maka orang-orang luar suka menyebut mereka dengan sebutan Suku Baduy.
Nah, kalau yang selama ini saya tahu ada yang namanya Suku Baduy Dalam dan Suku Baduy Luar, sebenarnya apa siy perbedaannya?
Perbedaan Suku Baduy Dalam dan Suku Baduy Luar
Kalau cerita dari teman-teman yang sering saya dengar mereka hanya bisa berkunjung ke desa Suku Baduy Luar saja. Jika dibandingkan dengan Baduy dalam, Baduy luar sudah lebih terbuka dengan budaya luar. Mereka sudah mulai mandi dengan menggunakan sabun, mereka sudah menggunakan barang-barang elektronik, bahkan seperti saya bilang sebelumnya, mereka sudah dengan senang hati menerima turis asing yang datang berkunjung dan mengizinkan turis-turis ini untuk menginap di rumah mereka.
Orang Baduy luar tinggal di lima puluh kampung yang tersebar di berbagai wilayah kaki Gunung Kendeng. Sedangkan kalau Baduy Dalam tinggal di tiga kampung dan dipimpin oleh ketua adat.
Info yang saya dapat juga, perbedaan yang paling mencolok adalah warna pakaian mereka. Orang Baduy Luar biasanya memakai pakaian warna hitam atau biru tua, sedangkan orang Baduy Dalam memilih pakaian berwarna putih. Kalau teman-teman pernah melihat di sosial media, wajah anak perempuan di Suku Baduy Luar itu memiliki ciri khas tersendiri, memiliki wajah yang cantik dan warna bola mata yang berbeda dari kebanyakan orang Indonesia.
Melihat Lebih Dekat Kehidupan Suku Baduy
Mayoritas orang Baduy bekerja sebagai petani, namun berbeda dengan petani yang ada di wilayah Indonesia kebanyakan, para petani tidak membajak sawah mereka dengan menggunakan kerbau bahkan traktor. Terutama orang Baduy Dalam melarang hewan berkaki empat masuk ke wilayah mereka.
Selain menanam padi, Suku Baduy juga menanam kopi dan umbi-umbian. Sebagian hasil panen mereka biasanya digunakan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari, sebagian lagi untuk dijual. Selain bertani, orang Baduy juga masuk ke hutan untuk mencari madu.
Sedangkan untuk kaum perempuan biasanya menenun kain untuk dijadikan sebagai pakaian, ikat kepala, ikat pinggang, dan juga tas khas Suku Baduy yang sering saya lihat dan hasil kerajinan ini juga mereka jual kepada wisatawan yang datang berkunjung.
Orang Suku Baduy terkenal sangat teguh memegang adat istiadat warisan nenek moyang. Mereka juga memiliki beberapa larangan yang tidak boleh dilakukan dalam hidup, tidak peduli jika aturan tersebut sudah berusia sangat tua, mereka masih tetap menjalaninya hingga saat ini. Tapi, memang tidak semua orang Baduy seketat itu dalam aturan, orang-orang Baduy Luar lebih terbuka.
Meskipun Suku Baduy Luar lebih terbuka tapi tetap tradisi dan budaya menjadi salah satu hal yang sangat mereka jaga. Salah satu larangan yang dijaga adalah penggunaan teknologi modern dalam kehidupan sehari-hari mereka. Tapi hal tersebut tidak berlaku bagi seorang Narman, pria warga Baduy Luar yang tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten.
Narman, Pemuda Baduy yang Berani Keluar Dalam Ikatan Tali Adat
Berbicara Suku Baduy, mereka tidak ada kebiasaan mengagumi seseorang dari kesuksesan, bisa dibilang yang mereka biasa saja. Tapi seorang pemuda bernama Narman kelahiran Suku Baduy Luar tahun 1989 ini, sukses menjadi pebisnis hasil karya pengrajin suku asli di Pedalaman Banten ini.
Pemuda Baduy yang berani keluar, berani berlari dari ikatan Tali adat Suku Baduy, meskipun dalam keterbatasan aturan adat berhasil berjualan daring via internet. Keberhasilan inilah yang mengantarkan Narman dianugerahi dari Astra bertajuk Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards di bidang Kewirausahaan pada tahun 2018 dengan julukan Pembuka Cakrawala Baduy.
Wah, Pemuda Pembuka Cakrawala Baduy, keren ya! Meskipun tidak pernah mengenyam pendidikan secara formal, Narman mengakui kalau ia mengenal huruf abjad dari orangtuanya. Karena baik Suku Baduy Luar atau Suku Baduy Dalam, mereka sangat kental dan menjaga aturan adatnya dan menolak sentuhan modernisasi ke dalam sisi kehidupan sehari-hari mereka.
Makanya di wilayah Baduy tidak ada sekolah. Apalagi warga Baduy Dalam, tidak ada seorangpun diantara mereka yang bisa baca menulis. Seperti anak-anak Baduy lainnya, Narman kecil hanya melakukan aktivitas seperti anak yang lainnya, bermain dan membantu orang tuanya berjualan. Tapi sedikit demi sedikit keadaan mulai berubah, dimana Narman anak kedua dari empat bersaudara ini sudah mampu untuk membaca. Kalau selama ini kita sering dengan Buku adalah jendela dunia, itu memang benar adanya. Semakin kita banyak membaca dan belajar semakin sedikit yang kita ketahui.
Semenjak Narman lancar membaca, ia mulai menyukai novel yang berkisah tentang makna kehidupan. Sejak itu juga dirinya tertarik dengan Ilmu Pengetahuan lainnya. Meskipun ia tidak sekolah secara formal tapi ia terus belajar secara mandiri. Karena hobi membaca dan belajarnya ini membawa Narman ke dunia internet.
Melalui internet buku-buku serta begitu banyak informasi bisa didapatkan dan internet menjadi tempatnya untuk menambah pengetahuan dan menimba ilmu. Selain itu ia juga mendapatkan tambahan tentang pembuatan website dari temannya. Hingga akhirnya ia mengenal Hosting, CMS dan Coding.
Tepatnya pada tahun 2016, Narman mulai menggunakan akun instagram bernama Baduy Craft untuk memasarkan hasil kerajinan tangannya. Kebetulan pada tahun itu juga sedang digelar festival Baduy oleh Pemerintah Daerah. Tak mau menyiakan kesempatan yang ada, Narman ikut membuka stan dengan membawa produk yang ia pinjam dari tetangganya. Dari festival ini Narman mendapat masukan untuk menjual produk kerajinannya melalui internet.
Begitu besar dampak yang Narman rasakan setelah menjual produk kerajinan melalui daring dan jangkauan pasarnya juga jauh lebih luas.
Sukses Pasarkan Kerajinan Melalui Internet
Melalui media sosialnya Narman berhasil membuat masyarakat luar dapat lebih mengenal kearifan lokal Suku Baduy dan juga membuka lebar rasa keingintahuan masyarakat luas dengan kerajinan dari Suku Baduy. Kerajinan yang dikenalkan Narman adalah kerajinan tangan, kain tenun, tas kepek serta aksesoris lainnya.
Narman belajar internet secara otodidak, dimana ia harus berjalan kaki sepanjang dua kilometer ke Desa Ciboleger untuk bisa belajar internet. Hal ini karena tradisi di Suku Baduy yang tidak membolehkan warganya untuk menggunakan teknologi modern dalam kehidupan sehari-hari.
Sukses dengan idenya untuk memasarkan kerajinan Tangan Suku Baduy melalui internet ternyata sempat mengalami penolakan dari ketua adat Baduy Luar. Ia ditegur karena dianggap pelanggaran atau pandangan buruk dari lingkungan sekitarnya. Tapi, Narman tidak mau menyerah begitu saja, untungnya ia mendapatkan dukungan dari keluarganya.
Narman ingin membuktikan bahwa keterbatasan tidak selamanya menjadi tantangan untuk menghasilkan sesuatu. Justru keterbatasan yang ada bisa diubah menjadi suatu kelebihan. Meskipun dirinya tidak pernah merasakan bangku sekolah, tapi itu berarti tidak bersekolah bukan berarti tidak belajar. Karena belajar bisa dilakukan dimana saja, kapan saja, tidak harus dilakukan di sekolah saja.
Berkat kegigihan, dimana awal niat ia membuka bisnis adalah untuk membantu dan meningkatkan perekonomian daerah asalnya, bukan untuk mengubah adat dan budaya Suku Baduy.
Setelah ketua adat merestui, tantangan selanjutnya adalah Ketua Adat Suku Baduy Dalam, yang tetap bersikeras menentang langkah yang dilakukan oleh Narman untuk berjualan melalui internet. Entah karena bosan atau alasan lainnya, hingga saat ini Narman sudah tidak pernah lagi mendengar larangan khusus tentang dirinya
Tidak hanya memasarkan produk lewat website dan instagram saja, Narman juga menambah pameran kerajinan tangan di sejumlah mal. Ia berhasil merangkul 25 orang pengrajin warga Baduy untuk bekerjasama dengan 3 macam sistem, yaitu sistem titip jual, beli putus dan paparonan atau bagi hasil. Ternyata dengan sistem ini Narman bisa menghasilkan omset sebulan tembus di angka Rp. 50 juta.
Dibalik perannya untuk menggerakkan perekonomian masyarakat Baduy, Narman menyimpan asa untuk tanah kelahirannya ini. Baduy dengan kearifan lokalnya sangat disayangkan jika tidak ada perubahan. Namun, ia sadar dan tidak menampik bahwa perubahan itu pasti ada dan akan terjadi. Saat ini ia yang berlari, kedepannya bisa juga anak-anak muda Suku Baduy yang lainnya yang juga mau berlari, mau belajar hal-hal baru untuk menopang dan perekonomian yang lebih baik lagi.
Dimana Suku Baduy kedepannya bisa tetap bertahan di tengah gempuran perubahan zaman tanpa harus meninggalkan kewajiban melestarikan adat istiadat Suku Baduy. Bagaimanapun belajar adat harus tetap diimbangi dengan pengetahuan umum.
Penghargaan Sinergi Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards
Semangat dirinya juga semakin lebar saat ia mendapatkan penerima SATU Indonesia Awards. Kisah Narman ini seharusnya menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa kita bisa mengubah keterbatasan menjadi keunggulan. Dalam Firman Allah juga dikatakan, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri”, ayat Al-Qur'an dari Surat Ar-Ra’d ayat 11.
Sebelumnya penghargaan yang ia dapatkan, tidak pernah sama sekali terpikirkan oleh dirinya. Baginya usaha yang ia lakukan semata-mata untuk meningkatkan ekonomi masyarakat Baduy.
Narman saat menerima penghargaan SATU Indonesia Awards Sumber : Ig @ayahriann |
Baduy Bertahan di Tengah Arus Perubahan Zaman
Kemajuan teknologi, perubahan zaman tidak dapat kita tolak. Hal ini sangat disadari betul oleh Narman. Dirinya telah membuka cakrawala baru dengan tetap mempertahankan kearifan lokal sesuai dengan apa yang telah disampaikan oleh para tetua kepala adat.
Narman tetap mengimbangi dengan belajar bersama kebiasaan adat, artinya segala sesuatu yang dipelajari dari generasi penerus Baduy itu materinya adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan adat dan budaya. Ia ingin berpegang teguh walau perubahan cepat atau lambat akan tetap terjadi tapi keaslian budaya dan adat Suku Baduy harus tetap terjaga.
Salah satu solusi yang ditawarkan oleh Narman adalah edukasi dan literasi untuk anak muda Suku Baduy. Pada dasarnya edukasi dan literasi tentang pengetahuan dunia digital penting untuk dilakukan bagi seluruh masyarakat Indonesia, supaya Indonesia emas 2045 bisa terwujud dan menjadikan masyarakat Indonesia lebih sejahtera dan maju.
Kita harus termotivasi dengan semangat yang dimiliki oleh Narman, untuk membuat perubahan sesuai juga dengan semangat Astra untuk masa depan Indonesia yang lebih baik, namun tetap tidak meninggalkan adat budaya luhur.
Tidak ada komentar
Terima kasih sudah mampir di Blog saya, semoga bermanfaat.
Tunggu kunjungan balik saya di Blog kalian.
Salam hangat